Pemilu dan Peradaban Kita

Kontestasi pemilihan umum (pemilu) yang akan dihelat pada 2019 ini sejatinya tidak hanya rutinitas 5 (lima) tahunan memilih pasangan presiden dan wakil presiden maupun para anggota badan perwakilan rakyat mulai dari DPR, DPD, sampai DPRD. Lebih dari itu, pemilu akan menjadi pembuktian peradaban bangsa Indonesia. Setidaknya ada dua alasan mengapa kontestasi pemilu akan menjadi bagian episode peradaban kita.

Pertama, Indonesia sudah menasbihkan diri sebagai negara berdasarkan kedaulatan rakyat. Sila ke-4 Pancasila mengatakan, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan." Karena itu, pemilu merupakan sarana untuk dapat mengantarkan rakyat memilih pemimpin (baca presiden-wakil presiden) yang akan mengurusi negara, dan wakil rakyat yang akan membuat hukum atas nama rakyat sekaligus mengawasi pemimpin tersebut.

Baik pemimpin maupun wakil rakyat idealnya haruslah orang yang sudah mampu mencapai level tertentu untuk dapat mengambil "hikmah kebijaksanaan", sehingga permusyawaratan dan perwakilan pun akan dapat dijalankan sebaik mungkin untuk kepentingan rakyat dan negara. Inilah cita-cita founding fathers-mothers kita atas dasar kemajemukan dan pluralitas bangsa Indonesia, sehingga bangsa ini harus dikelola oleh mereka yang sudah mampu mengambil "hikmah kebijaksanaan" bukan hanya sekedar suara mayoritas, sebagai bentuk keberadaban bangsa ini.

Kedua, kontestasi pemilu meniscayakan adanya banyak alternatif pilihan gagasan yang ditawarkan oleh para kontestan sebagai upaya menyelesaikan persoalan bangsa ini. Pemilu menjadi ajang tawar-menawar gagasan sekaligus uji publik atas setiap gagasan tersebut, yang kemudian rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi akan memilih gagasan mana yang dianggap paling tepat. Di sinilah pemilu menjadi bagian integral dari peradaban kita, bahwa menyelesaikan masalah bangsa itu tidak hanya dapat dilakukan oleh satu orang dan satu gagasan saja, melainkan harus dilakukan secara bersama dengan alternatif gagasan yang beragam.

Sudut pandang keberagaman baik orang dan gagasan ini menjadi penting digarisbawahi, agar tidak ada lagi monopoli orang dan kelompok, maupun monopoli kebenaran akan sebuah gagasan. Inilah peradaban kita yang bernama gotong royong dan bhineka tunggal ika.

Persoalan Besar

Dua alasan yang telah disampaikan setidaknya merupakan proyek peradaban bangsa Indonesia yang harus kita perjuangkan bersama. Namun demikian, mewujudkannya tidaklah mudah. Dalam konteks kekinian, ada dua persoalan besar yang akan menguji kontestasi pemilu sebagai episode peradaban, yaitu hoaks dan ujaran kebencian.

Hoaks atau berita bohong acap mewarnai kontestasi gagasan maupun orang. Ditambah dengan ujaran kebencian, ia menjadi senjata yang ampuh dan sempurna untuk menyerang lawan politik.

Sayangnya, kita sering masih amat mudah mempercayai berita hoaks dan ujaran kebencian tersebut. Produksi hoaks dan ujaran kebencian yang sering diciptakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab masih sering diterima dan ditelan mentah-mentah. Kondisi ini yang harus diperbaiki. Jangan sampai, kontestasi Pemilu 2019 yang sudah dimulai sejak Agustus 2018 lalu menjadi puncak pertarungan hoaks dan ujaran kebencian. Apabila ini terjadi, alangkah sedihnya, karena akan dicatat dan dipotret sebagai pemilu yang penuh kebohongan dan tak beradab.

Peranan Hukum


Di sinilah, peranan hukum menjadi amat vital dalam upaya menjaga kontestasi pemilu yang beradab. Segenap norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan telah disusun sedemikian rupa, sehingga idealnya dapat menjadi jaminan agar pemilu dapat dilakukan dengan sehat. Namun, idealisasi tersebut tidak hanya sampai pada seperangkat aturan tersebut, karena hukum tidak hanya berbicara mengenai asas dan kaidah/aturan saja, melainkan juga ada lembaga dan prosesnya (Mochtar Kusumaatmadja).

Karena itu, penyelenggaraan pemilu oleh KPU dan Bawaslu harus mampu dijalankan secara profesional sesuai dengan aturan main. Sama juga dengan aparat penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan dan penegakan hukum secara adil dan imparsial, sehingga setiap kontestan pemilu akan mendapatkan perlakuan setara sesuai jargon pemilu, yakni jurdil (jujur dan adil).

Yang tak kalah penting selain hukum adalah etika. Bahwa ada prinsip-prinsip etika kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita sepakati bersama untuk dapat saling menghormati perbedaan, menghormati pilihan, dan menghormati setiap gagasan. Etika ini bahkan sebenarnya bernilai lebih tinggi daripada hukum, karena ia menjadi pedoman moral setiap warga negara dalam bertingkah laku.

Karena itu, penting juga para elite politik di negeri ini menunjukkan sikap etika yang menjunjung tinggi kontestasi pemilu yang jujur, adil, dan berwibawa, sehingga ini menjadi teladan yang dapat diikuti oleh para pendukung dan pemilih yang tak lain pemilik kedaulatan negara ini. Semoga kita dapat membuktikan, bahwa Pemilu 2019 adalah salah satu episode peradaban terbaik Indonesia, bukan peradaban hoaks dan kebencian. [dtk]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pemilu dan Peradaban Kita"

Post a Comment